Dengan nama Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk Agama Allah, Maka bertasbihlah dengan memuji tuhanmu dan memohon ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha pemerima taubat (110:1-3)
Tuesday, November 16, 2010
Jazakillah....
Kasihan Gadis Itu

Aku rasa kasihan padanya
Wajahnya ayu, tutur katanya lembut, senyumnya manis sekali
Ah! Pastinya sang kumbang bermata keranjang suka melihat
Ke mana sahaja dia pergi sang kumbang akan automatik naik gatal
Kumbang-kumbang itu bukan sembarangan kumbang
Kumbang yang belajar agama, kumbang berkopiah
Aduh kasihan..
Imannya diuji bertalu-talu!
Gadis itu
Aku tahu dia punya pendirian
Mahu jual mahal
Tapi bila saat lelaki yang kononnya 'mahal' datang kepadanya
Dia juga hampir kecundang
Dia juga mula merasa dirinya sungguh cantik
Aduh kasihan..
Gad itu mahu berubah
Mahu ikut serta barisan dakwah
Tapi ada sahaja mulut-mulut yang mengatakan dakwah itu kerja orang laki-laki
Tak elok orang perempuan selalu keluar rumah
Melihat orang berpurdah
Terbit di hati si gadis cantik mahu pakai purdah
Tapi si gadis tidak rasa bersedia
Tidak rasa kuat
Aduh kasihan..
Lagi kasihan kalau dia fikir wajahnya itu rugi kalau tidak ditayang
Gadis itu mahu nikah
Tapi ditunggunya lelaki sefikrah
Aduh...aku rasa kasihan lagi
Kapan mahu nikah kalau menunggu sebegitu
Gadis itu..
Fitnah kejam, fitnah jahat, fitnah busuk,
Gadis itu sungguh kasihan..
puitis...
Perjuangkan Islam di dalam diri lebih dahulu
Engkau ingin didik orang, didiklah diri lebih dahulu
Engkau ingin menyampaikan risalah Islam?
Engkau hayati lebih dahulu
Kalau engkau merasa Islam itu satu kebenaran
Tegakkanlah kebenaran di dalam diri lebih dahulu
Islamkanlah diri lebih dahulu
Sebelum meng-Islamkan orang
Kalau tidak begitu, nanti akan ditertawakan orang
Jika di dalam diri belum kelihatan Islamnya
Mana boleh mempengaruhi orang lain untuk menerima Islam
Di dalam diri belum selesai
Mana boleh meyakinkan orang untuk menerimanya
Pakailah Islam itu di dalam diri lebih dahulu
Orang akan melihatnya
Kalau indah dilihatnya
Akan ramai pula yang akan memakainya
Islam bukan macam menjual barang
Apa yang kita jual tidak mesti kita pakai
Kita tidak memakai apa yang kita jual, orang tidak akan mempertikaikan
Tapi Islam adalah keyakinan, keindahan dan keselamatan
Tentulah kita dahulu yang mengamalkannya
Sajak Ashaari Muhammad. Al-fatihah buat Allahyarham..
Saturday, November 13, 2010
TEGAKKAN BENDERA PERANG!!!!!

bismillahirahmanirahim.....
astarfirullah al-azim
astarfirullah al-azim
astarfirullah al-azim
Ya Allah......
mana teman yang selama ini dikenali dengan egonya?
mana teman yang selama ini suka memberikan peringatan dan teguran tika dia salah....
jangan teman...
Demi Allah....
Demi Syurga Allah!
teruskanlah merubah
bukan berubah!!!!
kenapa hilang fokus....
kenapa begini
hati terlalu kotor.....
ada penyakit hati....
Astarfirullah al-azim
sampai diri ini terlalu malu tuk bersama mereka d luar sana
kerena kini dia bukan lagi yang terasing
dimanakah sang Ghuraba itu?
mereka mahu untuk merubah.....
baru d uji sedikit!
sudah berubah!!!!
astarfirullah al-azim!!!
mungkin khilafnya di sini.....
mereka tidak tahu cara pemurnian yang betul....
Ya Allah.....
Bantulah mereka ini dalam mendapat cinta-Mu melebihi dari segalanya
pinta....
teruskanlah dengan egomu...
bukan dengan kata-kata sahaja
tapi perbuatan
moga Allah memelihara kita
rindukan 'kampung halaman'
Thursday, November 4, 2010
Kebaikan Islam Seseorang, Ialah dengan Meninggalkan Perkara yang Tidak Bermanfaat
(Oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas)
Dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, dia berkata: “Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,
“Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya".”
(Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan selainnya seperti itu).
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh (dengan beberapa syawahidnya). Diriwayatkan oleh:
- At-Tirmidzi, no. 2317.
- Ibnu Mâjah, no. 3976.
- Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah, XIV/320, no. 4132.
- Ibnu Hibbân, no. 229 - at-Ta’lîqâtul Hisân.
- Ibnu Abid-Dunya dalam kitab ash-Shamtu (no. 108) dari Sahabat Abu Hurairah. Diriwayatkan juga oleh: Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ‘ (VIII/273-274, no. 12181), Ahmad (I/201), ath-Thabrani dalam Mu’jamul-Kabîr (no. 2886) dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Syawahid hadits ini dari Abu Bakar, Husain bin Ali, dan Zaid bin Tsabit. Yang diriwayatkan oleh para imam ahli hadits. Hadits Abu Hurairah di atas dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani dalam at- Ta’lîqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban, no. 229).
SYARAH HADITS
Hadits di atas merupakan salah satu prinsip dari prinsip-prinsip adab dan etika yang agung. Imam Abu ‘Amr bin Shalâh rahimahullâh menceritakan dari Abu Muhammad bin Abi Zaid rahimahullâh, imam madzhab Mâliki pada masanya, bahwa ia berkata: “Puncak etika kebaikan bermuara dari empat hadits:
- Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, ‘Barang siapa beriman kepada Allâh Ta'ala dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam’,
- Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, ‘Di antara kebaikan keislaman seseorang, ialah dia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya’,
- Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang ringkas kepada orang yang meminta wasiat kepadanya, ‘Janganlah engkau marah’, dan
- Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, ‘Orang mukmin itu mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya’.”[1]
Makna hadits ini, bahwasanya di antara kebaikan keislaman seseorang ialah ia meninggalkan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat baginya. Dia hanya mencukupkan diri dengan berbagai perkataan dan perbuatan yang bermanfaat baginya. Makna “ya’nîhi” dalam hadits ini, ialah perhatian (inâyah)nya tertuju padanya, kemudian sesuatu tersebut menjadi maksud dan tujuannya. Makna al-inâyah, ialah perhatian yang lebih terhadap sesuatu. Seseorang meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya, dan tidak ia inginkan bukan karena pertimbangan hawa nafsu dan keinginan jiwa, namun karena pertimbangan syari’at Islam. Oleh karena itu, beliau menjadikan sikap seperti itu sebagai bukti kebaikan keislamannya.
Jadi, jika keislaman seseorang baik, dia meninggalkan ucapan dan tindakan-tindakan yang tidak bermanfaat baginya dalam Islam, karena Islam mengharuskan seseorang mengerjakan kewajibankewajiban seperti yang telah dijelaskan dalam hadits Jibril radhiyallâhu'anhu (hadits ke-2 kitab al-Arba’în) dan hadits-hadits yang lainnya. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
… Berkemauan keraslah kepada apa-apa yang bermanfaat bagimu,
dan minta tolonglah kepada Allâh Ta'ala
dan janganlah bersikap lemah….”[2]
Para Ulama menjelaskan, bahwa yang dimaksud meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfat, sebagian besar ditujukan kepada menjaga lisan (lidah), dari perkataan yang sia-sia. Prinsip yang mendasar ialah meninggalkan hal-hal yang diharamkan dalam Islam, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
Seorang muslim, ialah orang yang kaum Muslimin selamat dari lidah dan tangannya;
dan orang yang hijrah, ialah orang yang meninggalkan apa yang Allâh larang.[3]
Jadi, jika keislaman seseorang baik, dia akan meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat baginya; baik itu hal-hal yang diharamkan, syubhat, makruh, dan hal-hal mubah yang berlebihan yang tidak dibutuhkan, karena itu semua tidak bermanfaat bagi seorang Muslim. Jika keislaman seseorang telah baik dan mencapai tingkatan ihsân, maka ketika beribadah kepada Allâh Ta'ala seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak melihat-Nya maka Allâh Ta'ala melihatnya. Maka, barang-siapa beribadah kepada Allâh Ta'ala dengan mengingat kedekatan-Nya dan penglihatannya kepada Allâh Ta'ala dengan hatinya atau mengingat kedekatan dan penglihatan Allâh Ta'ala kepadanya, sungguh keislamannya telah baik dan mengharuskannya meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat baginya dalam Islam dan ia lebih sibuk dengan hal-hal yang bermanfaat baginya.
Kedua kedudukan itu membuahkan sifat malu kepada Allâh Ta'ala Ta’ala dan meninggalkan apa saja yang membuatnya malu kepada-Nya. Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda:
Hendaklah kalian malu kepada Allâh dengan sebenar-benar malu.
Barang siapa yang malu kepada Allâh Ta'ala dengan sebenar-benar malu,
hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya,
menjaga perut dan apa yang ada di dalamnya,
dan hendaklah ia selalu mengingat kematian dan kehancuran badan.
Barang siapa menginginkan kehidupan akhirat,
hendaklah meninggalkan perhiasan dunia,
dan barang siapa melakukan hal itu,
sungguh, ia telah malu kepada Allâh Ta'ala dengan sebenar-benar malu.[4]
Salah seorang yang arif mengatakan “jika engkau berbicara, ingatlah pendengaran Allâh Ta'ala terhadapmu. Jika engkau diam, ingatlah penglihatan-Nya kepadamu”.[5]
Hal ini telah diisyaratkan oleh Al-Qur`ân di banyak tempat, misalnya firman Allâh Ta’ala:
Tidak ada satu kata yang diucapkannya,
melainkan ada di sisinya Malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).
(Qs. Qâf/50:18)
Firman Allâh Ta'ala :
Ataukah mereka mengira bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka?
Sebenarnya (Kami mendengar),
dan utusan-utusan Kami (para Malaikat) selalu mencatat di sisi mereka.
(Qs. az-Zukhruf/43:80)
Banyak manusia tidak membandingkan antara ucapannya dan perbuatannya. Akibatnya, ia bicara ngawur, sia-sia, tidak bermanfaat, dan tidak terkendali. Hal ini juga tidak diketahui oleh Sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallâhu'anhu, ketika ia bertanya kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam : “Apakah kita juga akan disiksa karena apa yang kita ucapkan?”
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab:
“Wahai Mu’adz! Semoga ibumu selamat.
Tidak ada yang membuat manusia tertelungkup di atas wajahnya di neraka,
melainkan disebabkan hasil lidah mereka”.[6]
Allâh Ta’ala menegaskan, tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan manusia di antara mereka. Allâh Ta'ala berfirman:
Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka,
kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah,
atau berbuat kebaikan,
atau mengadakan perdamaian di antara manusia.
(Qs. an-Nisâ‘/4:114)
Dan hadits ini menunjukkan, bahwasanya meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat termasuk bagian dari kebaikan keislaman seseorang. Jika ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya dan mengerjakan apa yang bermanfaat baginya, sungguh, telah sempurnalah kebaikan keislamannya.
Imam an-Nawawi rahimahullâh (wafat th. 676 H) berkata: “Ketahuilah bahwa seorang mukallaf (yang telah dibebani hukum syari’at/sudah baligh) seharusnya dapat menjaga lisannya untuk tidak berbicara, kecuali untuk hal-hal yang benar-benar bermanfaat. Apabila menurut pertimbangannya kemaslahatan antara diam dan berbicara adalah sama, maka menurut petunjuk Sunnah, ia lebih baik mengambil sikap diam. Sebab, pembicaraan yang mubah (boleh) terkadang bisa membawa kepada perbuatan haram atau makruh. Yang demikian banyak sekali terjadi (menjadi kebiasaan). Ingat, mencari selamat adalah sesuatu keberuntungan yang tiada taranya. (Kitab Riyâdush-Shâlihîn, Bab Tahrîmil-Ghîbah wal-’Amri bi Hifzhil-Lisân).
Apabila seseorang meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, maka baiklah keislamannya. Apabila ia baik keislamannya, maka akan dilipatgandakan kebaikannya.
Banyak sekali hadits yang menerangkan tentang seseorang yang baik keislamannya, kebaikan-kebaikannya dilipat-gandakan, adapun kesalahan-kesalahannya dihapuskan. Dan yang nampak, bahwa pelipat-gandaan kebaikan itu sangat ditentukan dari baik atau tidaknya keislaman seseorang. Diriwayatkan dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Beliau bersabda:
Jika salah seorang dari kalian memperbaiki keislamannya,
maka setiap kebaikan yang dia kerjakan
ditulis dengan sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat,
dan setiap kesalahan yang dilakukannya
ditulis dengan kesalahan yang sama
hingga dia bertemu dengan Allâh Ta'ala. [7]
Satu kebaikan dilipat-gandakan hingga sepuluh kali lipat merupakan suatu kepastian. Pelipat-gandaan kebaikan itu sangat terkait dengan kebaikan keislaman seseorang, keikhlasan niat, dan kebutuhan kepada amal tersebut dan keutamaannya, seperti menyumbang dana untuk jihad, memberi nafkah untuk keperluan haji, memberi nafkah kepada sanak kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, dan saat-saat di mana nafkah diperlukan.[8]
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallâhu'anhu, dia berkata, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Apabila seorang hamba masuk Islam lalu baik keislamannya,
Allâh Ta'ala menulis baginya setiap kebaikan yang pernah dia kumpulkan
dan dihapus darinya setiap kesalahan yang pernah dia kumpulkan.
Setelah itu yang terjadi ialah qisash;
satu kebaikan dilipat-gandakan dengan sepuluh kali lipat
dari nilai kebaikannya hingga tujuh ratus kali lipat,
dan satu kesalahan (dihitung) satu kesalahan yang sama
kecuali jika Allâh Ta'ala memaafkannya. [9]
Yang dimaksud dengan kebaikan dan kesalahan yang dikumpulkan pada hadits di atas, ialah kebaikan dan kesalahan yang terjadi sebelum Islam. Ini menunjukkan, bahwa seseorang yang diberikan pahala karena kebaikan-kebaikannya pada saat dia masih kafir, apabila dia masuk Islam, dan kesalahannya dihapus apabila dia masuk Islam, tetapi dengan syarat yaitu keislamannya baik, dan menjauhi berbagai kesalahan itu setelah dia masuk Islam. Imam Ahmad rahimahullâh menegaskan hal ini.
Hal ini juga ditunjukkan oleh sebuah hadits dalam ash-Shahîhain dari Ibnu Mas’ud radhiyallâhu'anhu, ia berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah kami akan disiksa karena apa yang kami lakukan pada masa Jahiliyyah?”
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab:
Adapun seseorang dari kalian yang berbuat kebaikan dalam masa Islamnya,
dia tidak akan disiksa karenanya.
Namun barang siapa berbuat tidak baik,
dia akan disiksa karena perbuatannya pada masa Jahiliyyah dan masa Islam.[10]
Sahabat ‘Amr bin al-Ash radhiyallâhu'anhu, ketika masuk Islam ia berkata kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam : “Aku ingin memberikan syarat!”
Beliau menjawab, “Engkau mensyaratkan apa?”
Aku menjawab, “Agar Allâh Ta'ala mengampuniku,”
Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab: “Tidakkah engkau mengetahui, bahwa Islam menghapuskan apa (kesalahan) yang sebelumnya?”
Dalam riwayat Imam Ahmad rahimahullâh disebutkan: “Sesungguhnya Islam menghapus dosa-dosa sebelumnya”.[11]
Dari Hakim bin Hizâm radhiyallâhu'anhu berkata, “Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang banyak hal yang telah aku perbuat pada masa Jahiliyyah, berupa sedekah atau membebaskan budak atau menyambung silaturahmi; apakah ada pahala padanya?”
Maka Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab, “Engkau masuk Islam bersama kebaikan yang telah engkau perbuat”.[12]
Ini menunjukkan, bahwa kebaikan-kebaikan orang kafir akan diberikan pahala apabila dia masuk Islam, dan apabila baik keislamannya akan dilipat-gandakan pahalanya. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang sibuk dengan hal-hal yang bermanfaat, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat, dan mudah-mudahan keislaman kita semakin menjadi baik.
FAWA‘ID HADITS
- Agama Islam menghimpun berbagai bentuk kebaikan, dan kebaikan-kebaikan Islam ini terhimpun dalam dua kata,
Allâh Ta'ala Ta’ala berfirman:
Sesungguhnya Allâh menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…
(Qs. an-Nahl/16:90) - Tolok ukur mengerjakan sesuatu yang bermanfaat dan meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat, ialah dengan Syariat Islam.
- Perbuatan seseorang dalam meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak ada kaitannya dengan berbagai urusan dan kepentingannya, ini merupakan tanda kebaikan keislamannya.
- Orang yang sibuk dengan sesuatu yang tidak bermanfaat, maka hal itu merupakan indikasi kekurangan dalam agamanya.
- Hendaklah seorang muslim mencari berbagai kebaikan keislamannya dan meninggalkan segala apa yang tidak bermanfaat baginya sehingga merasa tenang. Sebab, bila ia disibukkan dengan urusan yang tidak penting dan tidak bermanfaat, akan membuat dirinya lelah.
- Hendaklah seorang muslim memanfaatkan waktu dengan sesuatu yang dapat mendatangkan manfaat di dunia dan akhirat. Dan hal ini merupakan jalan selamat.
- Dianjurkan untuk menjauhi perkara-perkara yang rendah dan tidak bermanfaat.
- Dianjurkan untuk melatih jiwa dan membersihkannya, yaitu dengan menjauhkannya dari berbagai kekurangan, kehinaan, dan syubhat yang mengotorinya.
- Sibuk dan mencampuri urusan orang lain merupakan perbuatan sia-sia dan sebagai tanda lemahnya keimanan, serta dapat menimbulkan perpecahan dan pemusuhan antara manusia.
- Hati dan lisan yang sibuk dengan berdzikir kepada Allâh Ta'ala Ta’ala sesuai dengan sunnah adalah hati yang tenang.
- Seorang muslim harus berfikir sebelum berkata dan berbuat, apakah perkataan dan perbuatannya bermanfaat ataukah tidak, bermanfaat tidak untuk dirinya, keluarganya, dan untuk Islam dan kaum muslimin menurut tolok ukur syari’at.
- Amar ma’ruf dan nahi munkar adalah perkataan dan perbuatan yang bermanfaat, akan tetapi harus menurut ketentuan syariat.
- Apabila keislaman seseorang itu baik, maka akan dilipatgandakan pahalanya.
Wallâhu a’lam.�/p>
Marâji‘:
- Al-Qur‘ân dan terjemahnya.
- Al-Mu’jamul Kabîr.
- Ash-Shamtu, karya Ibnu Abid Dunya. Tahqîq: Abu Ishaq al-Huwaini.
- Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
- Hilyatul-Auliyâ‘.
- Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Baajis.
- Kutûbus Sab’ah. 8.Mushannaf ‘Abdur-Razzaq.
- Qawâ‘id wa Fawâ‘id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan.
- Shahîh Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban.
- Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlîh al-‘Utsaimîn.
- Syarhus-Sunnah lil-Baghawi
- Tafsîr Ibni Katsir.
- Dan kitab-kitab lainnya.
[1] | Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/288). |
[2] | Shahîh. HR Muslim (no. 2664), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu. |
[3] | HR al Bukhâri (no. 10) dan Muslim (no. 40), dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallâhu'anhu. |
[4] | Hasan. HR Ahmad (I/387), at-Tirmidzi (no. 2458), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4033), dan al-Hakim (IV/323) dari Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallâhu'anhu. Derajat hadits ini hasan dengan seluruh jalannya. Lihat Shahîh Jâmi’ush-Shagîr (no. 935). |
[5] | Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/290). |
[6] | Shahîh. HR Ahmad (V/230, 236, 237, 245), at-Tirmidzi (no. 2616), an-Nasâ‘i dalam as-Sunanul-Kubra (no. 11330), ‘Abdur-Razzaq dalam al-Mushannaf (no. 20303), Ibnu Majah (no. 3973), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Imân (no. 1, 2), al-Baihaqi dalam as- Sunanul Kubra (IX/20), ath-Thayalisi (no. 560), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul-Kabîr (XX/200, 291, 294, 304, 305), al-Hâkim (II/412-413), dan Ibnu Hibban (no. 214). |
[7] | Shahîh. HR Muslim (no. 129). |
[8] | Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam (I/295). |
[9] | Shahîh. HR al-Bukhâri secara mu’allaq (I/88 –Fat-hul-Bâri) dan dimaushulkan oleh an-Nasâ‘i (VIII/105-106). |
[10] | Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6921) dan Muslim (no. 120). |
[11] | Shahîh. HR Muslim (no. 121) dan Ahmad (IV/205). |
[12] | Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 1436, 2220, 2538, 5992) dan Muslim (no. 123) http://www.al-nidaa.com.my/artikel.php?id=538&action=view |
Tujuh Golongan Yang Bahagia di Akhirat
14 Mei 2007
Ust Dr Abdullah Yasin
[Hadis Riwayat Tarmidzi]
dipetik dari
http://www.al-nidaa.com.my/artikel.php?id=196&action=view
Wednesday, November 3, 2010
Malam Pertama Kita
Tuk merenungkan indahnya malam pertama
Tapi bukan malam penuh kenikmatan duniawi semata
Bukan malam pertama masuk ke peraduan Adam Dan Hawa
Justeru malam pertama perkawinan kita dengan Sang Maut
Sebuah malam yang meninggalkan isak tangis sanak saudara
Hari itu... mem pelai sangat dimanjakan
Mandipun...harus dimandikan
Seluruh badan Kita terbuka....
Tak ada sehelai benangpun menutupinya. .
Tak ada sedikitpun rasa malu...
Seluruh badan digosok dan dibersihkan
Kotoran dari lubang hidung dan anus dikeluarkan
Bahkan lubang-lubang itupun ditutupi kapas putih...
Itulah sosok Kita....
Itulah jasad Kita waktu itu
Setelah dimandikan.. ,
Kitapun dipakaikan gaun cantik berwarna putih
Kain itu ...jarang orang memakainya..
Karena sangat terkenal bernama Kafan
Wangian ditaburkan kebaju Kita...
Bahagian kepala.., badan. .., dan kaki diikatkan
Tataplah.... tataplah. ..itulah wajah Kita
Keranda pelaminan... langsung disiapkan
Pengantin bersanding sendirian...
Mempelai diarak keliling kampung yang dihadiri tetangga
Menuju istana keabadian sebagai simbol asal usul
Kita diiringi langkah longlai seluruh keluarga
Serta rasa haru para handai taulan
Gamelan syahdu bersyairkan adzan dan kalimah Dzikir
Akad nikahnya bacaan talkin....
Berwalikan liang lahat..
Saksi-saksinya nisan-nisan. . yang telah tib a duluan
Siraman air mawar.. pengantar akhir kerinduan
Dan akhirnya.... tiba masa pengantin..
Menunggu dan ditinggal sendirian,
Tuk mempertanggungjawab kan seluruh langkah kehidupan
Malam pertama yang indah atau meresahkan..
Ditemani rayap-rayap dan cacing tanah
Di kamar bertilamkan tanah..
Dan ketika 7 langkah telah pergi.....
Sang Malaikat lalu bertanya.
Kita tak tahu apakah akan memperoleh Nikmat Kubur...
Ataukah Kita akan memperoleh Siksa Kubur.....
Kita tak tahu...Dan tak seorangpun yang tahu....
Saya hampir membuang email ini namun saya telah diberi kesabaran untuk
membacanya terus hingga ke akhir.
Mengapa mudah sekali membuang email agama tetapi bangga mem "forward"
kan email yang tak senonoh? Astaghfirullah. ..
Marilah membuat keseimbangan dalam kehidupan kita, sebelum kita menuju
ke
''Malam Pertama Kita''
M.K.H= SEBARKAN KEPADA RAKAN ANDA YANG BERAGAMA ISLAM