melewati blog ini...

Tuesday, November 16, 2010

Jazakillah....


Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
من صنع إليه معروف فقال لفاعله: جزاك اللَّه خيراً، فقد أبلغ في الثناء
“Barangsiapa yang diberikan sesuatu kebaikan, maka hendaknya dia ucapkan ‘Jazakallahu khairan (semoga Allah membalas kebaikanmu)’ kepada orang yang memberi kebaikan. Sungguh hal yang demikan telah bersungguh-sungguh dalam berterimakasih.”
Takhrij Hadits:
Hadits ini dikeluarkan oleh At Tirmidzi dalam Al Bir was Shilah (2035) dan Ath Thabrani dalam Ash Shaghir (148/2)
Syarah:
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang diberikan sesuatu kebaikan, maka hendaknya dia ucapkan ‘Jazakallahu khairan (semoga Allah membalas kebaikanmu)’ kepada orang yang memberi kebaikan. Sungguh hal yang demikan telah bersungguh-sungguh dalam berterimakasih.”
Apabila seseorang memberikan sebuah kebaikan kepadamu dengan harta, bantuan, atau ilmu atau yang selain itu, maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk membalas kebaikan tersebut.
Beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang memberikan kebaikan kepadamu maka balaslah (kebaikan tersebut)”
Maka balasan ini sesuai dengan kondisinya. Ada orang yang balasan kebaikannya dengan engkau berikan sesuatu yang sama dengan apa yang dia berikan sebelumnya, atau bahkan lebih banyak. Ada pula yang orang yang balasannya engkau mendoakan kebaikan baginya, dan dia tidak ingin engkau balas dengan harta.
Orang yang sudah tua, memiliki banyak harta, dermawan, memiliki status sosial di masyarakat, jika dia menghadiahkan sesuatu kepadamu, lalu engkau balas memberi hadiah yang sama dengan hadiah pemberiannya, maka dia akan melihat ini sebagai sikap perendahan bagi dirinya.
Akan tetapi bila terjadi yang seperti ini, berdoalah kepada Allah untuknya. Apabila kalian tidak menemukan sesuatu yang pantas untuk membalas kebaikannya, maka doakan dia sampai kalian lihat kalian telah membalasnya. Dan dari doa ini adalah ucapan kalian,
جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا “Semoga Allah membalas kebaikanmu” Jika dia memberikan sebuah kebaikan, manfaat kepadamu, maka ketika engkau ucapkan jazakallahu khairan engkau telah bersungguh-sungguh dalam memuji. Hal ini karena jika Allah membalas seseorang dengan kebaikan, itu merupakan kebahagiaan baginya di dunia dan akhirat.
Diterjemahkan oleh ulamasunnah.wordpress.com dari Syarah Riyadhus Shalihin karya Syaikh Ibnu Utsaimin halaman 1564-1565, terbitan Darus Salam Kairo.
PS: Apabila ucapan tersebut ditujukan kepada wanita, maka dhamir (kata gantinya) diubah menjadi: جَزَاكِ اللَّهُ خَيْرًا “Jazakillahu khairan” Apabila ditujukan kepada sekumpulan orang, maka gantilah dengan: جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا “Jazakumullahu khairan” Sumber: http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/06/24/ucapkanlah-jazakallahu-khairan/ MEMBALAS UCAPAN TERSEBUT.............. السؤال: هل هناك دليل على أن الرد يكون بصيغة (وإياكم)؟ فأجاب: لا , الذي ينبغي أن يقول :(وجزاكم الله خيرا) يعنى يدعى كما دعا, وإن قال (وإياكم) مثلا عطف على جزاكم ,يعني قول (وإياكم) يعني كما يحصل لنا يحصل لكم .لكن إذا قال: أنتم جزاكم الله خيرا ونص على الدعاء هذا لا شك أنها أوضح وأولى (مفرغ من شريط دروس شرح سنن الترمذي ,كتاب البر والصلة ,رقم:222)
Pertanyaan: apakah ada dalil bahwa ketika membalasnya dengan mengucapkan “wa iyyakum” (dan kepadamu juga) ?
Beliau (Syaikh Al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad) menjawab:
“Tidak, sepantasnya dia juga mengatakan “jazakallahu khaer” (semoga Allah membalasmu kebaikan pula), yaitu didoakan sebagaimana dia berdo’a, meskipun perkataan seperti “wa iyyakum” sebagai athaf (mengikuti) ucapan “jazaakum”, yaitu ucapan “wa iyyakum” bermakna “sebagaimana kami mendapat kebaikan,juga kalian” , namun jika dia mengatakan “jazaakalallahu khaer” dan menyebut do’a tersebut secara nash, tidak diragukan lagi bahwa hal ini lebih utama dan lebih afdhal.”
(Transkrip dari kaset: durus syarah sunan At-Tirmidzi, oleh Al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad hafidzahullah,kitab Al-Birr wa Ash-Shilah,nomor hadits:222).
(Diterjemahkan oleh Abu Karimah Askari bin Jamal)


http://al-jasary.blogspot.com/2010/09/ucapan-jazakillah-dan-bagaimana.html

Kasihan Gadis Itu





Gadis itu..
Aku rasa kasihan padanya
Wajahnya ayu, tutur katanya lembut, senyumnya manis sekali
Ah! Pastinya sang kumbang bermata keranjang suka melihat
Ke mana sahaja dia pergi sang kumbang akan automatik naik gatal
Kumbang-kumbang itu bukan sembarangan kumbang
Kumbang yang belajar agama, kumbang berkopiah
Aduh kasihan..
Imannya diuji bertalu-talu!

Gadis itu
Aku tahu dia punya pendirian
Mahu jual mahal
Tapi bila saat lelaki yang kononnya 'mahal' datang kepadanya
Dia juga hampir kecundang
Dia juga mula merasa dirinya sungguh cantik
Aduh kasihan..

Gad itu mahu berubah
Mahu ikut serta barisan dakwah
Tapi ada sahaja mulut-mulut yang mengatakan dakwah itu kerja orang laki-laki
Tak elok orang perempuan selalu keluar rumah

Melihat orang berpurdah
Terbit di hati si gadis cantik mahu pakai purdah
Tapi si gadis tidak rasa bersedia
Tidak rasa kuat
Aduh kasihan..
Lagi kasihan kalau dia fikir wajahnya itu rugi kalau tidak ditayang

Gadis itu mahu nikah
Tapi ditunggunya lelaki sefikrah
Aduh...aku rasa kasihan lagi
Kapan mahu nikah kalau menunggu sebegitu

Gadis itu..
Terus menerus lagi menghadapi arus
Menepis-nepis fitnah yang datang menghunus
Fitnah kejam, fitnah jahat, fitnah busuk,
Gadis itu sungguh kasihan..

puitis...

ENGKAU ingin memperjuangkan Islam
Perjuangkan Islam di dalam diri lebih dahulu
Engkau ingin didik orang, didiklah diri lebih dahulu
Engkau ingin menyampaikan risalah Islam?
Engkau hayati lebih dahulu
Kalau engkau merasa Islam itu satu kebenaran
Tegakkanlah kebenaran di dalam diri lebih dahulu
Islamkanlah diri lebih dahulu
Sebelum meng-Islamkan orang

Kalau tidak begitu, nanti akan ditertawakan orang
Jika di dalam diri belum kelihatan Islamnya

Mana boleh mempengaruhi orang lain untuk menerima Islam
Di dalam diri belum selesai
Mana boleh meyakinkan orang untuk menerimanya
Pakailah Islam itu di dalam diri lebih dahulu
Orang akan melihatnya

Kalau indah dilihatnya
Akan ramai pula yang akan memakainya
Islam bukan macam menjual barang
Apa yang kita jual tidak mesti kita pakai
Kita tidak memakai apa yang kita jual,
orang tidak akan mempertikaikan
Tapi Islam adalah keyakinan,
keindahan dan keselamatan
Tentulah kita dahulu yang mengamalkannya


Sajak Ashaari Muhammad. Al-fatihah buat Allahyarham..

Saturday, November 13, 2010

TEGAKKAN BENDERA PERANG!!!!!



bismillahirahmanirahim.....


astarfirullah al-azim
astarfirullah al-azim
astarfirullah al-azim


Ya Allah......

mana teman yang selama ini dikenali dengan egonya?
mana teman yang selama ini suka memberikan peringatan dan teguran tika dia salah....
jangan teman...
Demi Allah....
Demi Syurga Allah!
teruskanlah merubah
bukan berubah!!!!


kenapa hilang fokus....
kenapa begini
hati terlalu kotor.....
ada penyakit hati....

Astarfirullah al-azim
sampai diri ini terlalu malu tuk bersama mereka d luar sana
kerena kini dia bukan lagi yang terasing
dimanakah sang Ghuraba itu?
mereka mahu untuk merubah.....
baru d uji sedikit!
sudah berubah!!!!
astarfirullah al-azim!!!

mungkin khilafnya di sini.....
mereka tidak tahu cara pemurnian yang betul....
Ya Allah.....
Bantulah mereka ini dalam mendapat cinta-Mu melebihi dari segalanya

pinta....
teruskanlah dengan egomu...
bukan dengan kata-kata sahaja
tapi perbuatan

moga Allah memelihara kita
~janji Allah itu pasti~
rindukan 'kampung halaman'

Thursday, November 4, 2010

Kebaikan Islam Seseorang, Ialah dengan Meninggalkan Perkara yang Tidak Bermanfaat

(Oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas)

Hadist

Dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, dia berkata: “Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,
“Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya".”
(Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan selainnya seperti itu).

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini shahîh (dengan beberapa syawahidnya). Diriwayatkan oleh:

  1. At-Tirmidzi, no. 2317.
  2. Ibnu Mâjah, no. 3976.
  3. Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah, XIV/320, no. 4132.
  4. Ibnu Hibbân, no. 229 - at-Ta’lîqâtul Hisân.
  5. Ibnu Abid-Dunya dalam kitab ash-Shamtu (no. 108) dari Sahabat Abu Hurairah. Diriwayatkan juga oleh: Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ‘ (VIII/273-274, no. 12181), Ahmad (I/201), ath-Thabrani dalam Mu’jamul-Kabîr (no. 2886) dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Syawahid hadits ini dari Abu Bakar, Husain bin Ali, dan Zaid bin Tsabit. Yang diriwayatkan oleh para imam ahli hadits. Hadits Abu Hurairah di atas dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani dalam at- Ta’lîqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban, no. 229).

SYARAH HADITS

Hadits di atas merupakan salah satu prinsip dari prinsip-prinsip adab dan etika yang agung. Imam Abu ‘Amr bin Shalâh rahimahullâh menceritakan dari Abu Muhammad bin Abi Zaid rahimahullâh, imam madzhab Mâliki pada masanya, bahwa ia berkata: “Puncak etika kebaikan bermuara dari empat hadits:

  1. Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, ‘Barang siapa beriman kepada Allâh Ta'ala dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam’,
  2. Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, ‘Di antara kebaikan keislaman seseorang, ialah dia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya’,
  3. Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang ringkas kepada orang yang meminta wasiat kepadanya, ‘Janganlah engkau marah’, dan
  4. Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, ‘Orang mukmin itu mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya’.”[1]

Makna hadits ini, bahwasanya di antara kebaikan keislaman seseorang ialah ia meninggalkan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat baginya. Dia hanya mencukupkan diri dengan berbagai perkataan dan perbuatan yang bermanfaat baginya. Makna ya'nihi “ya’nîhi” dalam hadits ini, ialah perhatian (inâyah)nya tertuju padanya, kemudian sesuatu tersebut menjadi maksud dan tujuannya. Makna al-inâyah, ialah perhatian yang lebih terhadap sesuatu. Seseorang meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya, dan tidak ia inginkan bukan karena pertimbangan hawa nafsu dan keinginan jiwa, namun karena pertimbangan syari’at Islam. Oleh karena itu, beliau menjadikan sikap seperti itu sebagai bukti kebaikan keislamannya.

Jadi, jika keislaman seseorang baik, dia meninggalkan ucapan dan tindakan-tindakan yang tidak bermanfaat baginya dalam Islam, karena Islam mengharuskan seseorang mengerjakan kewajibankewajiban seperti yang telah dijelaskan dalam hadits Jibril radhiyallâhu'anhu (hadits ke-2 kitab al-Arba’în) dan hadits-hadits yang lainnya. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

Hadist

… Berkemauan keraslah kepada apa-apa yang bermanfaat bagimu,
dan minta tolonglah kepada Allâh Ta'ala
dan janganlah bersikap lemah….”[2]

Para Ulama menjelaskan, bahwa yang dimaksud meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfat, sebagian besar ditujukan kepada menjaga lisan (lidah), dari perkataan yang sia-sia. Prinsip yang mendasar ialah meninggalkan hal-hal yang diharamkan dalam Islam, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,

Hadist

Seorang muslim, ialah orang yang kaum Muslimin selamat dari lidah dan tangannya;
dan orang yang hijrah, ialah orang yang meninggalkan apa yang Allâh larang.[3]

Jadi, jika keislaman seseorang baik, dia akan meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat baginya; baik itu hal-hal yang diharamkan, syubhat, makruh, dan hal-hal mubah yang berlebihan yang tidak dibutuhkan, karena itu semua tidak bermanfaat bagi seorang Muslim. Jika keislaman seseorang telah baik dan mencapai tingkatan ihsân, maka ketika beribadah kepada Allâh Ta'ala seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak melihat-Nya maka Allâh Ta'ala melihatnya. Maka, barang-siapa beribadah kepada Allâh Ta'ala dengan mengingat kedekatan-Nya dan penglihatannya kepada Allâh Ta'ala dengan hatinya atau mengingat kedekatan dan penglihatan Allâh Ta'ala kepadanya, sungguh keislamannya telah baik dan mengharuskannya meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat baginya dalam Islam dan ia lebih sibuk dengan hal-hal yang bermanfaat baginya.

Kedua kedudukan itu membuahkan sifat malu kepada Allâh Ta'ala Ta’ala dan meninggalkan apa saja yang membuatnya malu kepada-Nya. Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda:

Hadist

Hendaklah kalian malu kepada Allâh dengan sebenar-benar malu.
Barang siapa yang malu kepada Allâh Ta'ala dengan sebenar-benar malu,
hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya,
menjaga perut dan apa yang ada di dalamnya,
dan hendaklah ia selalu mengingat kematian dan kehancuran badan.
Barang siapa menginginkan kehidupan akhirat,
hendaklah meninggalkan perhiasan dunia,
dan barang siapa melakukan hal itu,
sungguh, ia telah malu kepada Allâh Ta'ala dengan sebenar-benar malu.[4]

Salah seorang yang arif mengatakan “jika engkau berbicara, ingatlah pendengaran Allâh Ta'ala terhadapmu. Jika engkau diam, ingatlah penglihatan-Nya kepadamu”.[5]

Hal ini telah diisyaratkan oleh Al-Qur`ân di banyak tempat, misalnya firman Allâh Ta’ala:

Qs. Qaf/50-18

Tidak ada satu kata yang diucapkannya,
melainkan ada di sisinya Malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).

(Qs. Qâf/50:18)

Firman Allâh Ta'ala :

Qs. az-Zukhruf/43:80

Ataukah mereka mengira bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka?
Sebenarnya (Kami mendengar),
dan utusan-utusan Kami (para Malaikat) selalu mencatat di sisi mereka.

(Qs. az-Zukhruf/43:80)

Banyak manusia tidak membandingkan antara ucapannya dan perbuatannya. Akibatnya, ia bicara ngawur, sia-sia, tidak bermanfaat, dan tidak terkendali. Hal ini juga tidak diketahui oleh Sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallâhu'anhu, ketika ia bertanya kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam : “Apakah kita juga akan disiksa karena apa yang kita ucapkan?”

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab:

Hadist

“Wahai Mu’adz! Semoga ibumu selamat.
Tidak ada yang membuat manusia tertelungkup di atas wajahnya di neraka,
melainkan disebabkan hasil lidah mereka”.
[6]

Allâh Ta’ala menegaskan, tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan manusia di antara mereka. Allâh Ta'ala berfirman:

Qs. An-Nisa'/4:114

Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka,
kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah,
atau berbuat kebaikan,
atau mengadakan perdamaian di antara manusia.
(Qs. an-Nisâ‘/4:114)

Dan hadits ini menunjukkan, bahwasanya meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat termasuk bagian dari kebaikan keislaman seseorang. Jika ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya dan mengerjakan apa yang bermanfaat baginya, sungguh, telah sempurnalah kebaikan keislamannya.

Imam an-Nawawi rahimahullâh (wafat th. 676 H) berkata: “Ketahuilah bahwa seorang mukallaf (yang telah dibebani hukum syari’at/sudah baligh) seharusnya dapat menjaga lisannya untuk tidak berbicara, kecuali untuk hal-hal yang benar-benar bermanfaat. Apabila menurut pertimbangannya kemaslahatan antara diam dan berbicara adalah sama, maka menurut petunjuk Sunnah, ia lebih baik mengambil sikap diam. Sebab, pembicaraan yang mubah (boleh) terkadang bisa membawa kepada perbuatan haram atau makruh. Yang demikian banyak sekali terjadi (menjadi kebiasaan). Ingat, mencari selamat adalah sesuatu keberuntungan yang tiada taranya. (Kitab Riyâdush-Shâlihîn, Bab Tahrîmil-Ghîbah wal-’Amri bi Hifzhil-Lisân).

Apabila seseorang meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, maka baiklah keislamannya. Apabila ia baik keislamannya, maka akan dilipatgandakan kebaikannya.

Banyak sekali hadits yang menerangkan tentang seseorang yang baik keislamannya, kebaikan-kebaikannya dilipat-gandakan, adapun kesalahan-kesalahannya dihapuskan. Dan yang nampak, bahwa pelipat-gandaan kebaikan itu sangat ditentukan dari baik atau tidaknya keislaman seseorang. Diriwayatkan dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Beliau bersabda:

Hadist

Jika salah seorang dari kalian memperbaiki keislamannya,
maka setiap kebaikan yang dia kerjakan
ditulis dengan sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat,
dan setiap kesalahan yang dilakukannya
ditulis dengan kesalahan yang sama
hingga dia bertemu dengan Allâh Ta'ala.
[7]

Satu kebaikan dilipat-gandakan hingga sepuluh kali lipat merupakan suatu kepastian. Pelipat-gandaan kebaikan itu sangat terkait dengan kebaikan keislaman seseorang, keikhlasan niat, dan kebutuhan kepada amal tersebut dan keutamaannya, seperti menyumbang dana untuk jihad, memberi nafkah untuk keperluan haji, memberi nafkah kepada sanak kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, dan saat-saat di mana nafkah diperlukan.[8]

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallâhu'anhu, dia berkata, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

Hadist

Apabila seorang hamba masuk Islam lalu baik keislamannya,
Allâh Ta'ala menulis baginya setiap kebaikan yang pernah dia kumpulkan
dan dihapus darinya setiap kesalahan yang pernah dia kumpulkan.
Setelah itu yang terjadi ialah qisash;
satu kebaikan dilipat-gandakan dengan sepuluh kali lipat
dari nilai kebaikannya hingga tujuh ratus kali lipat,
dan satu kesalahan (dihitung) satu kesalahan yang sama
kecuali jika Allâh Ta'ala memaafkannya.
[9]

Yang dimaksud dengan kebaikan dan kesalahan yang dikumpulkan pada hadits di atas, ialah kebaikan dan kesalahan yang terjadi sebelum Islam. Ini menunjukkan, bahwa seseorang yang diberikan pahala karena kebaikan-kebaikannya pada saat dia masih kafir, apabila dia masuk Islam, dan kesalahannya dihapus apabila dia masuk Islam, tetapi dengan syarat yaitu keislamannya baik, dan menjauhi berbagai kesalahan itu setelah dia masuk Islam. Imam Ahmad rahimahullâh menegaskan hal ini.

Hal ini juga ditunjukkan oleh sebuah hadits dalam ash-Shahîhain dari Ibnu Mas’ud radhiyallâhu'anhu, ia berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah kami akan disiksa karena apa yang kami lakukan pada masa Jahiliyyah?”

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab:

Hadist

Adapun seseorang dari kalian yang berbuat kebaikan dalam masa Islamnya,
dia tidak akan disiksa karenanya.
Namun barang siapa berbuat tidak baik,
dia akan disiksa karena perbuatannya pada masa Jahiliyyah dan masa Islam.
[10]

Sahabat ‘Amr bin al-Ash radhiyallâhu'anhu, ketika masuk Islam ia berkata kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam : “Aku ingin memberikan syarat!”

Beliau menjawab, “Engkau mensyaratkan apa?”

Aku menjawab, “Agar Allâh Ta'ala mengampuniku,”

Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab: “Tidakkah engkau mengetahui, bahwa Islam menghapuskan apa (kesalahan) yang sebelumnya?”

Dalam riwayat Imam Ahmad rahimahullâh disebutkan: “Sesungguhnya Islam menghapus dosa-dosa sebelumnya”.[11]

Dari Hakim bin Hizâm radhiyallâhu'anhu berkata, “Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang banyak hal yang telah aku perbuat pada masa Jahiliyyah, berupa sedekah atau membebaskan budak atau menyambung silaturahmi; apakah ada pahala padanya?”

Maka Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab, “Engkau masuk Islam bersama kebaikan yang telah engkau perbuat”.[12]

Ini menunjukkan, bahwa kebaikan-kebaikan orang kafir akan diberikan pahala apabila dia masuk Islam, dan apabila baik keislamannya akan dilipat-gandakan pahalanya. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang sibuk dengan hal-hal yang bermanfaat, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat, dan mudah-mudahan keislaman kita semakin menjadi baik.

FAWA‘ID HADITS

  1. Agama Islam menghimpun berbagai bentuk kebaikan, dan kebaikan-kebaikan Islam ini terhimpun dalam dua kata,
    Allâh Ta'ala Ta’ala berfirman:

    Qs. an-Nahl/19:90
    Sesungguhnya Allâh menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…
    (Qs. an-Nahl/16:90)
  2. Tolok ukur mengerjakan sesuatu yang bermanfaat dan meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat, ialah dengan Syariat Islam.
  3. Perbuatan seseorang dalam meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak ada kaitannya dengan berbagai urusan dan kepentingannya, ini merupakan tanda kebaikan keislamannya.
  4. Orang yang sibuk dengan sesuatu yang tidak bermanfaat, maka hal itu merupakan indikasi kekurangan dalam agamanya.
  5. Hendaklah seorang muslim mencari berbagai kebaikan keislamannya dan meninggalkan segala apa yang tidak bermanfaat baginya sehingga merasa tenang. Sebab, bila ia disibukkan dengan urusan yang tidak penting dan tidak bermanfaat, akan membuat dirinya lelah.
  6. Hendaklah seorang muslim memanfaatkan waktu dengan sesuatu yang dapat mendatangkan manfaat di dunia dan akhirat. Dan hal ini merupakan jalan selamat.
  7. Dianjurkan untuk menjauhi perkara-perkara yang rendah dan tidak bermanfaat.
  8. Dianjurkan untuk melatih jiwa dan membersihkannya, yaitu dengan menjauhkannya dari berbagai kekurangan, kehinaan, dan syubhat yang mengotorinya.
  9. Sibuk dan mencampuri urusan orang lain merupakan perbuatan sia-sia dan sebagai tanda lemahnya keimanan, serta dapat menimbulkan perpecahan dan pemusuhan antara manusia.
  10. Hati dan lisan yang sibuk dengan berdzikir kepada Allâh Ta'ala Ta’ala sesuai dengan sunnah adalah hati yang tenang.
  11. Seorang muslim harus berfikir sebelum berkata dan berbuat, apakah perkataan dan perbuatannya bermanfaat ataukah tidak, bermanfaat tidak untuk dirinya, keluarganya, dan untuk Islam dan kaum muslimin menurut tolok ukur syari’at.
  12. Amar ma’ruf dan nahi munkar adalah perkataan dan perbuatan yang bermanfaat, akan tetapi harus menurut ketentuan syariat.
  13. Apabila keislaman seseorang itu baik, maka akan dilipatgandakan pahalanya.

Wallâhu a’lam.�/p>

Marâji‘:

  1. Al-Qur‘ân dan terjemahnya.
  2. Al-Mu’jamul Kabîr.
  3. Ash-Shamtu, karya Ibnu Abid Dunya. Tahqîq: Abu Ishaq al-Huwaini.
  4. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
  5. Hilyatul-Auliyâ‘.
  6. Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Baajis.
  7. Kutûbus Sab’ah. 8.Mushannaf ‘Abdur-Razzaq.
  8. Qawâ‘id wa Fawâ‘id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan.
  9. Shahîh Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban.
  10. Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlîh al-‘Utsaimîn.
  11. Syarhus-Sunnah lil-Baghawi
  12. Tafsîr Ibni Katsir.
  13. Dan kitab-kitab lainnya.

[1] Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/288).
[2] Shahîh. HR Muslim (no. 2664), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu.
[3] HR al Bukhâri (no. 10) dan Muslim (no. 40), dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallâhu'anhu.
[4] Hasan. HR Ahmad (I/387), at-Tirmidzi (no. 2458), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4033), dan al-Hakim (IV/323) dari
Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallâhu'anhu. Derajat hadits ini hasan dengan seluruh jalannya. Lihat Shahîh Jâmi’ush-Shagîr (no. 935).
[5] Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/290).
[6] Shahîh. HR Ahmad (V/230, 236, 237, 245), at-Tirmidzi (no. 2616), an-Nasâ‘i dalam as-Sunanul-Kubra (no. 11330), ‘Abdur-Razzaq dalam al-Mushannaf (no. 20303), Ibnu Majah (no. 3973), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Imân (no. 1, 2), al-Baihaqi dalam as- Sunanul Kubra (IX/20), ath-Thayalisi (no. 560), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul-Kabîr (XX/200, 291, 294, 304, 305), al-Hâkim (II/412-413), dan Ibnu Hibban (no. 214).
[7] Shahîh. HR Muslim (no. 129).
[8] Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam (I/295).
[9] Shahîh. HR al-Bukhâri secara mu’allaq (I/88 –Fat-hul-Bâri) dan dimaushulkan oleh an-Nasâ‘i (VIII/105-106).
[10] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6921) dan Muslim (no. 120).
[11] Shahîh. HR Muslim (no. 121) dan Ahmad (IV/205).
[12] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 1436, 2220, 2538, 5992) dan Muslim (no. 123)




http://www.al-nidaa.com.my/artikel.php?id=538&action=view

Tujuh Golongan Yang Bahagia di Akhirat

14 Mei 2007
Ust Dr Abdullah Yasin

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِى اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِى ظِلِّهِ يَوْمَ لاَظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: إِمَامٌ عَادِلٌ، وَشَابٌ نَشَأ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجَلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِى الْمسَاجِدِ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِى اللهِ، اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ: إِنَّى أخَافُ اللهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأخفَاهَا حتَّى لاَ تَعْلَمُ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَلِيْلً فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ.
Terjemahan:
Daripada Abi Hurairah (ra) bahwa Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam) bersabda: Ada tujuh golongan yang akan mendapat perlindungan Allah pada hari yang tiada perlindungan kecuali perlindunganNya:
1. Imam (pemimpin) yang adil.
2. Pemuda yang taat kepada Allah sejak kecil.
3. Lelaki yang terpaut hatinya dengan masjid.
4. Dua orang yang saling kasih-mengasihi karena Allah.
5. Lelaki yang diajak oleh wanita yang mempunyai kedudukan dan cantik, lalu ia berkata: “Aku takut kepada Allah”.
6. Orang yang bersedekah secara sembunyi sehingga tidak mengetahui tangan kirinya apa yang diberi oleh tangan kanannya.
7. Orang yang bermunajat kepada Allah sambil menggelinangkan airmatanya.
[Hadis Sahih Riwayat Bukhari dan Muslim]
Uraian Al-Hadis:
Di dalam hadis di atas baginda Rasul (sallallahu alaihi wasalam) menjelaskan tentang tujuh golongan manusia yang berada di bawah naungan ‘arasy Allah pada Hari Kiamat. Mereka akan terhindar dari terik panas matahari dan bahangnya ketika di Padang Masyar. Merekalah golongan yang akan mendapat kebahagiaan di akhirat karena memiliki salah satu daripada tujuh sifat di bawah ini:
1. Imam yang adil:
Yang dimaksudkan dengan imam di sini ialah sultan atau hakim atau qadi atau siapa saja yang menjadi pemimpin samada pemimpin ‘am atau pemimpin khas. Adapun yang dimaksudkan dengan adil ialah menghukum dengan adil dan seksama, tidak berdasarkan hawa nafsu dan tidak pula menerima rasywah.
Oleh itu seorang pemimpin mestilah bersih daripada sifat zalim sebab tugas utama para pemimpin adalah justeru untuk membasmi kezaliman. Barangkali inilah yang diisyaratkan oleh Allah dalam ayat berikut:
قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia” Ibrahim berkata: “(dan saya mohon juga) dari keturunanku”, Allah berfirman: “JanjiKu (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim”.
(Al Baqarah 2:124)
2. Pemuda yang taat beribadat kepada Allah sejak kecil:
Remaja yang taat beribadah kepada Allah sejak umur muda lagi. Mereka telah dilatih untuk menghormati hukum-hakam Allah sejak kecil iaitu dengan melaksanakan suruhanNya dan menjauhi laranganNya. Golongan inilah yang boleh diharapkan untuk menjadi pemimpin masa depan yang akan membawa negara ke arah negara makmur yang diredhai Allah (Baldatun thaiyibatun Wa Rabbun Ghafuur).
Allah SWT memuji pemuda-pemuda Ashhaabul Kahfi dalam firmanNya:
إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.
(Al-Kahfi 18:13)
Dan setelah kita memahami akan hakekat ini maka sangat tepatlah sekiranya pengisian program “Rakan Muda” lebih mengarah kepada pembentukan muda-mudi yang bertaqwa kepada Allah. Mereka bukan hanya mahir dalam bidang sains dan teknologi tetapi juga patuh dan taat kepada undang-undang Allah.
3. Lelaki yang terpaut hatinya dengan masjid:
Masjid adalah tempat yang paling mulia di atas muka bumi. Sebaliknya tempat yang paling buruk di atas muka bumi adalah pasar. Ini memberi gambaran bahwa orang yang hatinya selalu teringat kepada masjid adalah orang yang saleh. Mereka pastikan setiap hari dapat melakukan solat wajib secara berjamaah. Ini tidak bermakna setiap waktu mereka mesti berda di dalam masjid.
Diriwayatkan bahwa baginda Rasul (sallallahu alaihi wasalam) segera membena pasar Madinah setelah beliau selesai membena masjid Nabawy. Ini memberi gambaran bahwa manusia yang sempurna mestilah membuat keseimbangan antara keperluan jasmani dan rohani. Fungsi masjid bukan hanya untuk beribadat kepada Allah dalam pengertiannya yang khusus tetapi juga berperanan untuk mencerdaskan minda umat melalui majlis ilmunya dan memperkokoh perpaduan umat melalui solat berjamaahnya dan lain-lain lagi.
4. Dua orang yang saling kasih-mengasihi karena Allah:
Islam adalah agama yang berteraskan cinta kepada Allah dan bersama-sama mengharap keredaan Allah berdasarkan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam). Oleh yang demikian, jika persahabatan kita dengan seseorang berdasarkan perinsip itu maka kita akan mendapat kemuliaan di sisi Allah kelak di akhirat.
Sikap saling kasih-mengasihi karena Allah hendaklah dibuktikan dengan menghidupkan semangat amar ma’ruf nahi munkar terhadap sesama kita. Sifat saling nasehat-menasehati dan saling tegor-menegor kepada kebenaran mestilah diwujudkan untuk bersama-sama mentaati ajaran Allah. (Watawaashau Bil Haq).
Atas dasar ini, kita dilarang oleh agama menjalin persahabatan sesama kita hanya atas dasar kepentingan dunia semata-mata umpamanya menjalin hubungan dengan seseorang hanya ingin mendapat kemudahan duniawy di balik persahabatan itu.
5. Lelaki yang diajak oleh wanita yang mempunyai kedudukan dan cantik, lalu ia berkata: “Aku takut kepada Allah”.
Wanita selalu diperalat oleh syaitan untuk menggugat ketaqwaan seorang lelaki. Lebih-lebih lagi kalau justeru mereka yang mengajak lelaki buat serong. Sungguh banyak lelaki yang goyang imannya jika mendapat pelawaan tersebut kecuali mereka yang mendapat rahmat dan perlindungan Allah.
Lelaki yang benar-benar takut kepada Allah akan menolak rayuan syaitan betina itu. Atau sebaliknya, wanita yang benar-benar bertaqwa akan menolak godaan syaitan jantan tersebut. Mereka akan berkata: “Aku takut kepada (azab) Allah”.
Manusia jenis inilah barangkali yang ingin digambarkan oleh Allah SWT melaui kisah Nabi Yusuf dengan Zulaikha:
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ الْجَاهِلِينَ
Yusuf berkata: Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memnuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh”.
(Yusuf 12:33)
6. Orang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya.
Rasul (sallallahu alaihi wasalam) menggambarkan manusia yang ikhlas ketika bersadakah seperti tangan kanan. Walaupun jaraknya sangat dekat dengan tangan kiri (manusia) namun dia tidak mengetahui apa yang tangan kanan nafkahkan.
Gambaran ini menyatakan kepada kita bahwa manusia yang ikhlas beramal semata-mata mengharap keredaan dan ganjaran daripada Allah, bukan sanjungan dan pujian manusia lain. Ini tidak bermakna kita tidak dibolehkan bersedekah secara terang-terangan. Tetapi bersedekah secara senyap adalah lebih baik daripada terang-terangan sebab ia lebih selamat daripada riyak dan takabbur.
Ini sebagaimana firman Allah:
إِن تُبْدُواْ الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاء فَهُوَ خَيْرٌ لُّكُمْ
Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikannya itu lebih baik bagimu”.
(Al-Baqarah 2:271)
7. Orang yang bermunajat kepada Allah sambil menggelinangkan air matanya.
Rasul (sallallahu alaihi wasalam) menyatakan dalam bahagian ini betapa besarnya ganjaran yang Allah akan berikan kepada orang yang menangis karena takut kepada azab Allah. Lebih-lebih lagi ketika sujud atau sedang membaca Al-Quran atau ketika berdoa memohon ampun kepada Allah pada dua pertiga malam ke atas dosa masa silam.
Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam) pernah menggambarkan hakekat ini di dalam hadisnya:
Dua mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka, iaitu mata yang menangis karena takut (azab) Allah dan mata yang berjaga ketika berjihad pada jalan Allah”.

[Hadis Riwayat Tarmidzi]


dipetik dari

http://www.al-nidaa.com.my/artikel.php?id=196&action=view

Wednesday, November 3, 2010

Malam Pertama Kita

Satu hal sebagai bahan renungan Kita...
Tuk merenungkan indahnya malam pertama
Tapi bukan malam penuh kenikmatan duniawi semata
Bukan malam pertama masuk ke peraduan Adam Dan Hawa

Justeru malam pertama perkawinan kita dengan Sang Maut
Sebuah malam yang meninggalkan isak tangis sanak saudara

Hari itu... mem pelai sangat dimanjakan
Mandipun...harus dimandikan
Seluruh badan Kita terbuka....
Tak ada sehelai benangpun menutupinya. .
Tak ada sedikitpun rasa malu...
Seluruh badan digosok dan dibersihkan
Kotoran dari lubang hidung dan anus dikeluarkan
Bahkan lubang-lubang itupun ditutupi kapas putih...

Itulah sosok Kita....
Itulah jasad Kita waktu itu

Setelah dimandikan.. ,
Kitapun dipakaikan gaun cantik berwarna putih
Kain itu ...jarang orang memakainya..
Karena sangat terkenal bernama Kafan
Wangian ditaburkan kebaju Kita...
Bahagian kepala.., badan. .., dan kaki diikatkan
Tataplah.... tataplah. ..itulah wajah Kita
Keranda pelaminan... langsung disiapkan
Pengantin bersanding sendirian...

Mempelai diarak keliling kampung yang dihadiri tetangga
Menuju istana keabadian sebagai simbol asal usul
Kita diiringi langkah longlai seluruh keluarga
Serta rasa haru para handai taulan
Gamelan syahdu bersyairkan adzan dan kalimah Dzikir
Akad nikahnya bacaan talkin....
Berwalikan liang lahat..
Saksi-saksinya nisan-nisan. . yang telah tib a duluan
Siraman air mawar.. pengantar akhir kerinduan
Dan akhirnya.... tiba masa pengantin..
Menunggu dan ditinggal sendirian,
Tuk mempertanggungjawab kan seluruh langkah kehidupan

Malam pertama yang indah atau meresahkan..
Ditemani rayap-rayap dan cacing tanah
Di kamar bertilamkan tanah..

Dan ketika 7 langkah telah pergi.....
Sang Malaikat lalu bertanya.
Kita tak tahu apakah akan memperoleh Nikmat Kubur...
Ataukah Kita akan memperoleh Siksa Kubur.....
Kita tak tahu...Dan tak seorangpun yang tahu....

Saya hampir membuang email ini namun saya telah diberi kesabaran untuk
membacanya terus hingga ke akhir.



Mengapa mudah sekali membuang email agama tetapi bangga mem "forward"
kan email yang tak senonoh? Astaghfirullah. ..
Marilah membuat keseimbangan dalam kehidupan kita, sebelum kita menuju
ke

''Malam Pertama Kita''
M.K.H= SEBARKAN KEPADA RAKAN ANDA YANG BERAGAMA ISLAM

Monday, November 1, 2010

entry no title 2

ya Allahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh

S.A.K.I.T!!!!

carian anda di blog ini